MENSIKAPI KEHIDUPAN : Surat Al-Jum’ah Ayat 9-11 dan Surat Al-Qashash Ayat 77

Standar

A. Mensikapi Kehidupan: Surat Al-Jum’ah (62) Ayat 9-11

62_9

(9) Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk bersembahyang pada hari Jum’at, maka pergilah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.

Seruan untuk shalat yang dimaksud diatas dan yang mengharuskan dihentikannya segala kegiatan adalah adzan yang dikumandangkan saat khatib naik ke mimbar. Ini karena, pada masa Nabi SAW, hanya dikenal sekali adzan. Pada masa Sayyidina Utsman, ketika semakin tersebar kaum muslimin di penjuru kota, beliau memerintahkan melakukan dua kali adzan. Adzan pertama berfungsi mengingatkan bahwa sebentar lagi ibadah shalat Jum’at akan dimulai dan agar mereka bersiap-siap menghentikan aktivitas mereka. Pergi ke masjid dan meninggalkan pekerjaan adalah manfaat yang besar.

Kata fas’au terambil dari kata sa’a yang berarti berjalan cepat tapi bukan berlari. Ada perintah Nabi SAW agar menuju ke masjid, berjalan dengan penuh wibawa. Beliau bersabda: “Apabila shalat telah segera akan dilaksanakan (Qamat), janganlah menuju ke sana dengan berjalan cepat (sa’i) tetapi hadirilah dengan sakinah (ketenangan dan penuh wibawa). Bagian shalat yang kamu dapati, lakukanlah dan yang tertinggal sempurnakanlah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain melalui Abu Hurairah)

Shalat Jum’at dinilai pengganti shalat Dzuhur. Karena itu, tidak lagi wajib atau dianjurkan kepada yang telah shalat Jum’at untuk melakukan shalat Dzuhur. Dua kali khutbah pada ibadah shalat Jum’at dinilai menggantikan dua rakaat Dzuhur. Namun, bagi yang tidak sempat menghadiri khutbah, ia tidak diharuskan shalat Dzuhur. Jika dia hanya sempat mnegikuti satu rakaat, diaharus menyempurnakannya menjadi empat rakaat, walau niatnya ketika berdiri untuk shalat adalah shalat Jum’at. Inilah yang dinamakan shalat tanpa niat dan niat tanpa shalat. Shalat Jum’at walau dinilai pengganti shalat Dzhuhur, bacaan ketika shalat hendaknya jahr/dengan suara keras.

Larangan melakukan jual beli dipahami oleh Imam Malik mengandung makna batalnya serta keharusan membatalkan jual beli jika dilakukan pada saat Imam berkhutbah dan shalat. Imam Syafi’i tidak memahaminya demikian, namun menegaskan keharamannya.

Ayat diatas ditujukan kepada orang-orang beriman. Istilah ini mencakup pria dan wanita, baik yang bermukim di tempat tinggalnya maupun yang musafir. Beberapa hadits Nabi SAW menjelaskan siapa yang dimaksud oleh ayat ini. Beliau bersabda: “(Shalat) Jum’at adalah keharusan yang wajib bagi setiap muslim (dilaksanakan dengan) berjamaah, kecuali terhadap empat (kelompok), yaitu hamba sahaya, wanita, anak-anak, dan orang sakit.” (diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Thariq Ibn Syihab)

Hadist ini menjadi bahan diskusi para ulama. Ada yang menilainya dha’if, tetapi ada juga yang menerimanya, terdapat riwayat-riwayat lain yang senada. Meskipun hadits ini dan lainnya hanya mengecualikan mereka yang empat itu dari kewajiban shalat Jum’at, tidak melarang mereka. Anak kecil tidak wajib shalat, namun sebaiknya mereka dididik dan dianjurkan untuk shalat. Karena itu bila perempuan atau keempat kelompok yang dikecualikan diatas, melakukan shalat Jum’at, maka shalatnya sah dan tidak lagi wajib bagi mereka untuk melaksanakan shalat Dzuhur. Dengan ikut shalat Jum’at, mereka akan mendengar khutbah sehingga dengan demikian diharapkan pengetahuan dan kesadaran beragama mereka akan semakin meningkat.

62_10

(10) Apabila telah selesai mengerjakan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya. Mudah-mudahan kamu mmemperoleh kemenangan.

Apabila kamu telah menunaikan shalat Jum’at, maka kerjakanlah kemaslahatan duniawimu. Carilah keutamaan Allah serta sebutlah Allah dan ingatlah bahwa semua aktivitasmu diperhatikan oleh Allah. Tidak ada satu pun yang luput dari perhatian-Nya.

Diriwayatkan oleh Irak ibn Malik bahwa apabila telah selesai mengerjakan shalat Jum’at, Nabi bergegas pulang dan berhenti sejenak di pintu masjid seraya berdoa: “Wahai Tuhanku, aku telah memenuhi seruan-Mu. Aku telah mengerjakan shalat yang telah Engkau fardhukan ini. Aku sekarang akan bergerak pulang sebagaimana yang Engkau perintahkan. Maka, rezekikanlah aku dari keutamaan-Mu; dan Engkaulah Tuhan yang paling memberi rezeki”

62_11

(11) Apabila mereka melihat perniagaan dan permainan, mereka berlarian ke situ meninggalkan kamu yang sedang berdiri. Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan; dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki.”

Apabila para mukmin melihat kafilah yang membawa perniagaan atau permainan, mereka pun segera meninggalkan majelis masjid, membiarkan kamu tegak berdiri membaca khutbah.

Ahmad Bukhari, Muslim, at-Turmudzi, dan lain-lain meriwayatkan dari Jabir ibn Abdillah, yang mengisahkan bahwa pada suatu sholat Jum’at, ketika Nabi sedang berkhutbah datanglah satu kafilah unta yang membawa bahan makanan, tepung gandum, dan minyak. Dengan serentak para sahabat menemui kafilah itu, dan tinggal 12 orang yang tetap tnggal di masjid bersama Nabi. Diantaranya Jabir, Abu Bakar dan Umar. Tidak lama kemudian turunlah ayat ini.

Barang dagangan tersebut didatangkan oleh Dihyah al-Kalbi dari Syam. sudah menjadi kebiasaan orang Arab ketika itu, apabila barang dagangan tiba, maka seluruh penduduk Madinah beramai-ramai menemuinya. Pada saat itu genderang dipukul tanda kedatangan kafilah.

Katakanlah, hai Muhammad, kepada para sahabatmu bahwa apa yang memberikan manfaat kepada mereka di akhirat nanti adalah lebih baik daripada yang memberi manfaat di dunia saja. Manfaat di akhirat bersifat kekal (untuk selama-lamanya), sedangkan dunia akan lenyap.

Mintalah rezeki kepada Allah dan pergunakan ketaatan itu sebagai senjata untuk mencapai maksud tersebut. Baik mengenai kebajikan dunia maupun kebajikan akhirat.

B. Mensikapi Kehidupan: Surat Al-Qashash (28) Ayat 77

QS 28.77

(77) Dan carilah dari apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Ssesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Kata fima dipahami oleh Ibn ‘Asyur mengandung makna terbanyak atau pada umumnya, sekaligus melukiskan tertancapnya ke dalam lubuk hati upaya mencari kebahagiaan ukhrawi melalui apa yang dianugerahkan Allah dalam kehidupan dunia ini.

Firman-Nya wa la tansa nashibaka min ad-dunya merupakan larangan melupakan atau mengabaikan bagian seseorang dari kenikmatan duniawi. Larangan itu dipahami oleh sementara ulama bukan dalam arti haram mengabaikannya, tetapi dalam arti mubah (boleh untuk mengambilnya). Dengan kalimat tersebut, menjadi jelas bahwa seseoramg boleh menggunakan hartanya untuk tujuan kenikmatan duniawi selama hak Allah menyangkut harta telah dipenuhinya dan selama penggunaannya tidak melanggar ketentuan Allah SWT.

Kata nashib terambil dari kata nashaba yang berarti menegakkan sesuatu sehingga nyata dan mantap. Kata nashib atau nasib adalah bagian tertentu yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata dan jelas bahwa bagian itu adalah hak dan miliknya dan atau itu tidak dapat dielakkan.

Sementara ulama berpendapat bahwa nashib manusia dari harta kekayaan di dunia ini adalah dalam arti segala yang dihalalkan Allah. Harta yang diperoleh manusia secara halal dapat digunakannya secara baik dan benar sebagaimana digariskan Allah. Dia hanya berkewajiban mengeluarkan bagian yang ditentukan dalam bentuk zakat yang wajib. Selebihnya adalah halal untuk dinikmatinya, kecuali jika dia ingin bersedekah.

Kata ahsin terambil dari kata hasan yang berarti baik. Mencakup segala sesuatu yang dapat disentuh oleh kebaikan, bermula terhadap lingkungan, harta benda, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, baik orang lain maupun diri sendiri. Bahkan terhadap musuh pun dalam batas-batas yang dibenarkan. Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. (HR. Muslim, dan lain-lain melalui Syaddad Ibn Aus).

Kata kama pada ayat diatas berarti sebagaimana. Betapapun besarnya usaha manusia berbuat baik, pasti dia tidak dapat melakukannya sebagaimana yang dilakukan Allah. Atas dasar itu, banyak ulama memahami kata kama dalam arti disebabkan karena, yakni karena Allah telah melimpahkan aneka karunia, seharusnya manusia pun melakukan ihsan dan usaha perbaikan sesuai kemampuannya.

Ada beberapa hal penting dari ayat ini: Pertama, dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi merupakan satu kesatuan. Dunia adalah tempat menanam dan akhirat adalah tempat menuai. Apa yang Anda tanam, akan memperoleh buahnya.

Kedua, pentingnya mengarahkan pandangan kepada akhirat sebagai tujuan dan dunia sebagai sarana mencapai tujuan. Ini terlihat jelas dengan firman-Nya yang memerintahkan mencari dengan penuh kesungguhan kebahagiaan akhirat. Dengan demikian, semakin banyak yang diperoleh secara halal dalam kehidupan dunia ini, semakin terbuka kesempatan untuk memperoleh kebahagiaan ukhrawi. Selama itu diperoleh dan digunakan sesuai petunjuk Allah SWT.

Larangan melakukan kerusakan, setelah sebelumnya telah diperintahkan berbuat baik, merupakan peringatan agar tidak mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan. Sebab, keburukan dan perusakan merupakan lawan kebaikan. Penegasan ini diperlukan, disebabkan sumber-sumber kebaikan dan keburukan sangat banyak.

Perusakan yang dimaksud menyangkut banyak hal. Di dalam Al-Qur’an ditemukan contoh-contohnya. Diantaranya merusak fitrah kesucian manusia, yakni tidak memelihara tauhid yang telah Allah anugerahkan kepada setiap insan. Keengganan menerima kebenaran dan nilai-nilai agama, seperti pembunuhan, perampokan, pengurangan takaran dan timbangan, berfoya-foya, pemborosan, gangguan terhadap kelestarian lingkungan, dan lain-lain.

Referensi:

Ash Shieddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 2003.  Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Shihab, M. Quraish. 2009. Tafsir Al-Mishbah Jilid 9: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.

________. 2009. Tafsir Al-Mishbah Jilid 14: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.

Tinggalkan komentar